Menu Navigasi

11 July 2020

01 | Istana Sakinah

Hujan turun lagi, gemericik air yang luruh dari gumpalan awan hitam sana terasa berbeda. Ini hujan Desember, ada genangan kenangan yang belum juga lesap dari ingatan. Ada seonggok rasa yang belum juga beranjak dari dalam sana, adalah cinta yang masih mengada-ada. Rasa itu masih terpatri, menolak pergi dan enggan mencari yang lebih berarti. Sayangnya, pepatah “mati satu tumbuh seribu” tidak berlaku di dalam sanubari. Jangankan seribu, sepotong manusia saja tidak ada yang mampu menandingi. Ah! Jika itu perihal cinta, jangan lagi berbicara dengan logika. Butuh berabad lamanya meyakinkan diri bahwa pengorbanan atas nama cinta adalah kebodohan, kekonyolan dan jalan setapak menuju kegilaan.

Pernikahan

Kewarasanku nyaris hilang tatkala sebuah kabar menerobos paksa indera pendengaran. Seperti tidak tahu aturan, seperti tidak tahu sopan santun melintas dan merusak sistem kerja di sana. Kabar itu membuatku iri kepada mereka yang tuli, kepada mereka yang tidak serta-merta melumat sebuah suara.

“Kamu akan menikah, Mas?” besitku di dalam hati. Lelaki itu, pria berperawakan sederhana, jauh dari title tampan dan gagah sukses memorakporandakan hati. Aku tidak tahu bagaimana menenangkan hati setelah mendengar kabar bahwa dia telah meminang seorang perempuan desa yang tidak kalah cantiknya. Padahal, bertahun-tahun aku menghabiskan waktu menjadi sosok idaman, berharap memenangkan hati lelaki itu. Tapi tetap saja, aku bukan pilihannya.

            Aku mencintainya, dengan cinta yang tak terkatakan dengan susunan aksara tapi wujudnya kasat mata. Bagaimana mungkin dia tidak memahami rasaku jika selama ini segala kebaikan itu berada di bawah kendali cinta? Bodoh atau memang benar-benar buta?

            “Apa lagi yang kurang untuk acaramu nanti, Kak?” tanyaku sembari memainkan jari yang telah berkeringat. Pagi ini, dia berkunjung ke rumah mengabarkan berita bahagia itu. Tidak ada pilihan selain menampakkan kebahagiaan pula. Cukup hatiku saja yang memberontak, bibir ini tidak perlu bertutur banyak. Aku bukan siapa-siapa.  

            Waktu berlalu, semakin jauh membawa luka semakin merajalela. Pernikahan itu benar-benar terjadi, yang semula kurasa mimpi, tapi nyatanya semua saksi telah berteriak “Sah!”. Fadli menikah dengan wanita pilihannya, bunga desa yang setia dengan hijab anggunnya. Sempurna sekali pasangan itu. Apa yang semula menjadikanku tergila-gila dengan lelaki itu? Adalah kesholehan yang tidak bisa ditawar-tawar. Dia lelaki yang baik. Meski tidak tampan, tapi keindahan akhlak yang begitu kuat menjatuhkan hati terlalu dalam.

            Dengan berat hati dan kelapangan dada, aku memutuskan menghadiri pesta pernikahan Fadli yang dihadiri ratusan orang, juga ratusan doa untuk kebahagiaan rumah tangganya. Aku tidak hanya membawa doa ke sana, tapi juga luka dan linangan air mata. Tidak masalah, mencintai diam-diam memang harus siap menanggung resiko terluka sendirian.

            Desember yang malang, bukan? Pernikahan itu terjadi di antara gerimis lembut yang menjadi saksi bahagia mereka. Entah hujan yang membawa berkah untuknya atau hanya wujud luka seorang perempuan yang benar-benar luruh di antara luas semesta; adalah aku yang terluka parah.

            Satu tahun pernikahannya, Fadli masih bersikap layaknya seorang sahabat tiga dan dua tahun lalu. Tidak ada yang berubah. Keramahan dan kebaikannya masih sama. Aku? Aku juga masih sama, meski hati telah menjelma puing-puing yang gersang. Aku tidak pernah menampakkan amarah, kekecewaan, patah hati kepadanya. Ketika cinta datang dan bersemayam diam-diam, juga harus melebur dengan pelan-pelan tanpa suara, kan? Senyumku tetap merekah di hadapannya, meski ada banyak kebahagiaan yang telah patah.

            Dua tahun pernikahan mereka, Fadli telah dikaruniai seorang putri yang cantik. Kehadiran buah hati itu yang membuat topengku lepas, hilang kendali. Cinta yang terpendam bertahun lamanya justru tidak berkurang sedikit pun, meski tahu bahwa hati lelaki itu telah dimenangkan oleh seorang perempuan dan perempuan itu bukan aku.

            “Aku mencintaimu, Mas. Aku cemburu, aku iri dengan kebahagiaan kalian. Bertahun-tahun aku berjuang banyak untukmu tapi malah dia yang kamu nikahi.” Ucapan itu meluncur dengan lugas, tidak peduli bagaimana Fadli menanggapinya.

Hening panjang di antara kami. Dia diam saja, tatapannya menerawang jauh, kosong. Aku sibuk bertengkar dengan diri sendiri. Marah dengan kelancangan itu, di sisi yang berbeda, ada cinta yang memang harus segera bersuara. Aku akui, waktunya tidak lagi tepat untuk sekedar menguak masa silam itu, mengungkapkan rasa yang seharusnya telah terbunuh lama. Tapi tetap saja, cinta terkadang menulikan telinga dari petuah-petuah akal sehat.

            Fadli beranjak, bergegas pergi tanpa mengatakan apapun. Sorot mataku mengikutinya, dia seperti menghapus jejak tangis di pipi. Ada apa? Apa yang baru saja luruh di sana? Seharusnya aku yang menangis, seharusnya aku yang terluka paling dalam.

            Tiga tahun pernikahan mereka. Tepat di penghujung Desember yang menjadi lembar sejarah bagi jalinan cintanya, seorang perempuan menemuiku. Zanah, istri Fadli yang masih saja cantik meski telah menjadi seorang ibu.

            “Bersediakah kau menjadi istri dari suamiku?” tanyanya dengan binar mata teduh. Aku tersentak kaget, jemarinya yang memegang punggung tanganku mendadak dingin, gemetar.

            “Apa maksudmu?”

            “Aku tahu kamu mencintainya dan aku siap jika dia akan membagi cinta. Lagipula, suamiku juga mencintaimu. Pernikahan kami hanyalah keinginan orang tua. Bukan keinginan hati masing-masing. Tapi, seiring berjalannya waktu, aku telah mencintai suamiku sepenuhnya. Jika kalian harus bersatu, tolong tetap izinkan aku berada diantara kalian sebagai seorang wanita yang sama-sama punya cinta,” paparnya dengan nada parau, ada genangan di bola matanya yang tertahan. Aku menatapnya lamat-lamat, ada kebahagiaan terbesit di hati, semacam kemenangan besar. Lagi-lagi cinta mengendalikan inginku.

            “Kamu jangan melakukannya, Liv.” Sahabatku mengingatkan.

            “Dia yang meminta, aku tidak memaksanya.”

            “Tapi bagaimanapun juga, kamu akan menjadi orang ketiga yang merusak rumah tangga mereka. Tolong! Masih banyak yang bisa kamu cintai di luar sana. Lupakan Fadli, Liv.”

            “Tidak! Cinta harus memiliki!”

            “Cinta tidak harus memiliki!” suaranya meninggi. Aku membanting pintu rumahnya, meninggalkan sahabatku yang sama sekali tidak pernah mengerti dengan perasaanku. Masa bodoh, persetan dengan omongan orang. Bagaimanapun juga, tidak ada yang mampu mengalahkan kata hati, bukan?

            Pagi itu, gendang ditabuh bertalu-talu, karangan bunga berjejer indah di pekarangan rumah. Hiruk pikuk kesibukan terdengar di setiap ruang, semua tamu undangan tampak mengenakan pakaian paling mahal yang memikat pandangan. Aku terdiam di dalam kamar, polesan make up nyaris luntur akibat kepanasan. Beberapa menit lagi rombongan mempelai pria akan tiba, menjemputku menjadi permaisuri ke dua di dalam rumah tangga Fadli. Bibirku tak henti-hentinya menyunggingkan senyuman, cinta yang bertahun-tahun kupendam akhirnya akan berbuah manis seketika.

            Tidak ada yang lebih syahdu dari proses ijab qabul yang terucap dari bibir seseorang yang teramat dicintai. Proses akad yang berlangsung dengan sangat lancar tanpa hambatan sedikitpun, Fadli telah sah menjadi milikku. Aku mencium punggung tangannya, lalu menatapnya lekat. Pandangannya teduh, kebahagiaan yang sama terpancar di sana tapi ada yang mengganjal dari raut wajahnya. Seperti ada duka yang berusaha ditutup rapat-rapat.

            Satu bulan usia pernikahan kami. Aku dan Zanah tetap berada di bawah atap yang sama, dia tidak pernah sekalipun menampakkan kebencian atau amarah. Tapi Fadli masih saja bersikap dingin, kebahagiaan yang selama ini kuidamkan nyaris menjadi dongeng. Bagaimana mungkin dia tidak bisa berlaku adil sedangkan dia paham tentang agama? Kemana Fadli yang kukenali?

            Jam menunjukkan pukul satu dini hari, aku terjaga. Seperti ada sesuatu yang memaksaku enggan tidur lagi. Tidur di kamar sendirian memang sudah biasa, Fadli terlalu sibuk pekerjaannya. Aku berjalan keluar kamar. Sunyi. Rumah mewah yang hanya dihuni tiga orang saja malah tampak horor di malam hari. Langkahku tidba-tiba terhenti, kudengar sayup-sayup suara di balik sebuah kamar. aku mendekati ruangan yang pintunya tidak tertutup rapat, tampak dua sajadah terbentang di sana.

            “Aku tahu selama ini kau tak bahagia. Kehadirannya di tengah-tengah kita membuatmu sakit, tapi demi Allah, aku hanya menuruti permintaanmu.”

            “Tapi kamu mencintainya, Mas. Mana mungkin aku menjadi penghalang dari dua cinta yang seharusnya menyatu,” ujar Zanah sesenggukan.

            “Memang cinta tumbuh tanpa diminta, tapi itu juga tergantung kita dalam menyikapinya. Kalau memang tidak ditakdirkan bersama, ya tentu saja tidak boleh dipaksa. Zanah, aku mungkin mencintainya tapi itu dulu. Allah yang menakdirkan kita bersama.”

            “Cukup, Mas. Kamu telah menikahinya, jadi Zanah mohon agar Mas bisa berlaku adil!” suara perempuan itu mulai meninggi.

            “Tapi hal itu melukai hatimu!” Fadli berusaha meraih tangannya, tapi Zanah mengelak. Ditepisnya tangan Fadli dengan kasar.

            “Biarkan saja Biarkan jalan ini menjadi jalan saya untuk memperoleh surga.”

            “Tidak! Istana sakinah yang kamu impikan belum selesai aku bangun, Dik.”

            “Kita bisa membangunnya bersama-sama, bersama Mba Oliv.” Suara perempuan itu melemah, tersirat sebuah luka yang sangat dalam. Linangan di bola matanya akhirnya luruh juga. Pemandangan yang berhasil mengoyak hati, aku menangis di balik pintu, menyadari bahwa kehadiranku tidak pernah diinginkan oleh Fadli. Aku menyadari bahwa cinta tidak seharusnya dipaksa. Bagaimanapun juga, aku telah membangun kebahagiaan di atas derita perempuan lain.

            Aku meninggalkan mereka, melepaskan diri sebelum hatiku retak setelah patah. Aku pergi tanpa sepengetahuan Zanah dan Fadli, mengasingkan diri ke kampung almarhum Kakek. Berkali-kali Zanah mencoba menghubungiku, tapi tidak sekalipun aku menanggapinya. Perempuan itu layak menjadi bidadari Fadli, menjadi satu-satunya yang akan memenangkan hatinya. Aku menyerah, wajah teduh Zanah telah menggambarkan kedamaian surga, darinya aku belajar ikhlas. Perempuan itu telah mengubah hidup dan hatiku. Aku pergi, sebab istanah sakinah tidak akan pernah damai ketika ada cinta yang terbagi di dalamnya.

 By: Yusrianti