Hujan
turun lagi, gemericik air yang luruh dari gumpalan awan hitam sana terasa
berbeda. Ini hujan Desember, ada genangan kenangan yang belum juga lesap dari
ingatan. Ada seonggok rasa yang belum juga beranjak dari dalam sana, adalah
cinta yang masih mengada-ada. Rasa itu masih terpatri, menolak pergi dan enggan
mencari yang lebih berarti. Sayangnya, pepatah “mati satu tumbuh seribu” tidak
berlaku di dalam sanubari. Jangankan seribu, sepotong manusia saja tidak ada
yang mampu menandingi. Ah! Jika itu perihal cinta, jangan lagi berbicara dengan
logika. Butuh berabad lamanya meyakinkan diri bahwa pengorbanan atas nama cinta
adalah kebodohan, kekonyolan dan jalan setapak menuju kegilaan.
Kewarasanku
nyaris hilang tatkala sebuah kabar menerobos paksa indera pendengaran. Seperti
tidak tahu aturan, seperti tidak tahu sopan santun melintas dan merusak sistem
kerja di sana. Kabar itu membuatku iri kepada mereka yang tuli, kepada mereka
yang tidak serta-merta melumat sebuah suara.
“Kamu
akan menikah, Mas?” besitku di dalam hati. Lelaki itu, pria berperawakan
sederhana, jauh dari title tampan dan gagah sukses memorakporandakan
hati. Aku tidak tahu bagaimana menenangkan hati setelah mendengar kabar bahwa
dia telah meminang seorang perempuan desa yang tidak kalah cantiknya. Padahal,
bertahun-tahun aku menghabiskan waktu menjadi sosok idaman, berharap
memenangkan hati lelaki itu. Tapi tetap saja, aku bukan pilihannya.
Aku
mencintainya, dengan cinta yang tak terkatakan dengan susunan aksara tapi
wujudnya kasat mata. Bagaimana mungkin dia tidak memahami rasaku jika selama
ini segala kebaikan itu berada di bawah kendali cinta? Bodoh atau memang
benar-benar buta?
“Apa
lagi yang kurang untuk acaramu nanti, Kak?” tanyaku sembari memainkan jari yang
telah berkeringat. Pagi ini, dia berkunjung ke rumah mengabarkan berita bahagia
itu. Tidak ada pilihan selain menampakkan kebahagiaan pula. Cukup hatiku saja
yang memberontak, bibir ini tidak perlu bertutur banyak. Aku bukan siapa-siapa.
Waktu
berlalu, semakin jauh membawa luka semakin merajalela. Pernikahan itu
benar-benar terjadi, yang semula kurasa mimpi, tapi nyatanya semua saksi telah
berteriak “Sah!”. Fadli menikah dengan wanita pilihannya, bunga desa yang setia
dengan hijab anggunnya. Sempurna sekali pasangan itu. Apa yang semula
menjadikanku tergila-gila dengan lelaki itu? Adalah kesholehan yang tidak bisa
ditawar-tawar. Dia lelaki yang baik. Meski tidak tampan, tapi keindahan akhlak
yang begitu kuat menjatuhkan hati terlalu dalam.
Dengan
berat hati dan kelapangan dada, aku memutuskan menghadiri pesta pernikahan
Fadli yang dihadiri ratusan orang, juga ratusan doa untuk kebahagiaan rumah
tangganya. Aku tidak hanya membawa doa ke sana, tapi juga luka dan linangan air
mata. Tidak masalah, mencintai diam-diam memang harus siap menanggung resiko
terluka sendirian.
Desember
yang malang, bukan? Pernikahan itu terjadi di antara gerimis lembut yang
menjadi saksi bahagia mereka. Entah hujan yang membawa berkah untuknya atau
hanya wujud luka seorang perempuan yang benar-benar luruh di antara luas
semesta; adalah aku yang terluka parah.
Satu
tahun pernikahannya, Fadli masih bersikap layaknya seorang sahabat tiga dan dua
tahun lalu. Tidak ada yang berubah. Keramahan dan kebaikannya masih sama. Aku?
Aku juga masih sama, meski hati telah menjelma puing-puing yang gersang. Aku
tidak pernah menampakkan amarah, kekecewaan, patah hati kepadanya. Ketika cinta
datang dan bersemayam diam-diam, juga harus melebur dengan pelan-pelan tanpa
suara, kan? Senyumku tetap merekah di hadapannya, meski ada banyak kebahagiaan
yang telah patah.
Dua
tahun pernikahan mereka, Fadli telah dikaruniai seorang putri yang cantik.
Kehadiran buah hati itu yang membuat topengku lepas, hilang kendali. Cinta yang
terpendam bertahun lamanya justru tidak berkurang sedikit pun, meski tahu bahwa
hati lelaki itu telah dimenangkan oleh seorang perempuan dan perempuan itu
bukan aku.
“Aku
mencintaimu, Mas. Aku cemburu, aku iri dengan kebahagiaan kalian.
Bertahun-tahun aku berjuang banyak untukmu tapi malah dia yang kamu nikahi.”
Ucapan itu meluncur dengan lugas, tidak peduli bagaimana Fadli menanggapinya.
Hening
panjang di antara kami. Dia diam saja, tatapannya menerawang jauh, kosong. Aku
sibuk bertengkar dengan diri sendiri. Marah dengan kelancangan itu, di sisi
yang berbeda, ada cinta yang memang harus segera bersuara. Aku akui, waktunya
tidak lagi tepat untuk sekedar menguak masa silam itu, mengungkapkan rasa yang
seharusnya telah terbunuh lama. Tapi tetap saja, cinta terkadang menulikan
telinga dari petuah-petuah akal sehat.
Fadli
beranjak, bergegas pergi tanpa mengatakan apapun. Sorot mataku mengikutinya,
dia seperti menghapus jejak tangis di pipi. Ada apa? Apa yang baru saja luruh
di sana? Seharusnya aku yang menangis, seharusnya aku yang terluka paling
dalam.
Tiga
tahun pernikahan mereka. Tepat di penghujung Desember yang menjadi lembar
sejarah bagi jalinan cintanya, seorang perempuan menemuiku. Zanah, istri Fadli
yang masih saja cantik meski telah menjadi seorang ibu.
“Bersediakah
kau menjadi istri dari suamiku?” tanyanya dengan binar mata teduh. Aku
tersentak kaget, jemarinya yang memegang punggung tanganku mendadak dingin, gemetar.
“Apa
maksudmu?”
“Aku
tahu kamu mencintainya dan aku siap jika dia akan membagi cinta. Lagipula,
suamiku juga mencintaimu. Pernikahan kami hanyalah keinginan orang tua. Bukan
keinginan hati masing-masing. Tapi, seiring berjalannya waktu, aku telah
mencintai suamiku sepenuhnya. Jika kalian harus bersatu, tolong tetap izinkan
aku berada diantara kalian sebagai seorang wanita yang sama-sama punya cinta,”
paparnya dengan nada parau, ada genangan di bola matanya yang tertahan. Aku
menatapnya lamat-lamat, ada kebahagiaan terbesit di hati, semacam kemenangan
besar. Lagi-lagi cinta mengendalikan inginku.
“Kamu
jangan melakukannya, Liv.” Sahabatku mengingatkan.
“Dia
yang meminta, aku tidak memaksanya.”
“Tapi
bagaimanapun juga, kamu akan menjadi orang ketiga yang merusak rumah tangga
mereka. Tolong! Masih banyak yang bisa kamu cintai di luar sana. Lupakan Fadli,
Liv.”
“Tidak!
Cinta harus memiliki!”
“Cinta
tidak harus memiliki!” suaranya meninggi. Aku membanting pintu rumahnya,
meninggalkan sahabatku yang sama sekali tidak pernah mengerti dengan
perasaanku. Masa bodoh, persetan dengan omongan orang. Bagaimanapun juga, tidak
ada yang mampu mengalahkan kata hati, bukan?
Pagi
itu, gendang ditabuh bertalu-talu, karangan bunga berjejer indah di pekarangan
rumah. Hiruk pikuk kesibukan terdengar di setiap ruang, semua tamu undangan
tampak mengenakan pakaian paling mahal yang memikat pandangan. Aku terdiam di
dalam kamar, polesan make up nyaris luntur akibat kepanasan. Beberapa
menit lagi rombongan mempelai pria akan tiba, menjemputku menjadi permaisuri ke
dua di dalam rumah tangga Fadli. Bibirku tak henti-hentinya menyunggingkan
senyuman, cinta yang bertahun-tahun kupendam akhirnya akan berbuah manis
seketika.
Tidak
ada yang lebih syahdu dari proses ijab qabul yang terucap dari bibir seseorang
yang teramat dicintai. Proses akad yang berlangsung dengan sangat lancar tanpa
hambatan sedikitpun, Fadli telah sah menjadi milikku. Aku mencium punggung
tangannya, lalu menatapnya lekat. Pandangannya teduh, kebahagiaan yang sama
terpancar di sana tapi ada yang mengganjal dari raut wajahnya. Seperti ada duka
yang berusaha ditutup rapat-rapat.
Satu
bulan usia pernikahan kami. Aku dan Zanah tetap berada di bawah atap yang sama,
dia tidak pernah sekalipun menampakkan kebencian atau amarah. Tapi Fadli masih
saja bersikap dingin, kebahagiaan yang selama ini kuidamkan nyaris menjadi
dongeng. Bagaimana mungkin dia tidak bisa berlaku adil sedangkan dia paham
tentang agama? Kemana Fadli yang kukenali?
Jam
menunjukkan pukul satu dini hari, aku terjaga. Seperti ada sesuatu yang
memaksaku enggan tidur lagi. Tidur di kamar sendirian memang sudah biasa, Fadli
terlalu sibuk pekerjaannya. Aku berjalan keluar kamar. Sunyi. Rumah mewah yang
hanya dihuni tiga orang saja malah tampak horor di malam hari. Langkahku
tidba-tiba terhenti, kudengar sayup-sayup suara di balik sebuah kamar. aku
mendekati ruangan yang pintunya tidak tertutup rapat, tampak dua sajadah
terbentang di sana.
“Aku
tahu selama ini kau tak bahagia. Kehadirannya di tengah-tengah kita membuatmu
sakit, tapi demi Allah, aku hanya menuruti permintaanmu.”
“Tapi
kamu mencintainya, Mas. Mana mungkin aku menjadi penghalang dari dua cinta yang
seharusnya menyatu,” ujar Zanah sesenggukan.
“Memang
cinta tumbuh tanpa diminta, tapi itu juga tergantung kita dalam menyikapinya.
Kalau memang tidak ditakdirkan bersama, ya tentu saja tidak boleh dipaksa.
Zanah, aku mungkin mencintainya tapi itu dulu. Allah yang menakdirkan kita
bersama.”
“Cukup,
Mas. Kamu telah menikahinya, jadi Zanah mohon agar Mas bisa berlaku adil!”
suara perempuan itu mulai meninggi.
“Tapi
hal itu melukai hatimu!” Fadli berusaha meraih tangannya, tapi Zanah mengelak.
Ditepisnya tangan Fadli dengan kasar.
“Biarkan
saja Biarkan jalan ini menjadi jalan saya untuk memperoleh surga.”
“Tidak!
Istana sakinah yang kamu impikan belum selesai aku bangun, Dik.”
“Kita
bisa membangunnya bersama-sama, bersama Mba Oliv.” Suara perempuan itu melemah,
tersirat sebuah luka yang sangat dalam. Linangan di bola matanya akhirnya luruh
juga. Pemandangan yang berhasil mengoyak hati, aku menangis di balik pintu,
menyadari bahwa kehadiranku tidak pernah diinginkan oleh Fadli. Aku menyadari
bahwa cinta tidak seharusnya dipaksa. Bagaimanapun juga, aku telah membangun
kebahagiaan di atas derita perempuan lain.
Aku
meninggalkan mereka, melepaskan diri sebelum hatiku retak setelah patah. Aku
pergi tanpa sepengetahuan Zanah dan Fadli, mengasingkan diri ke kampung
almarhum Kakek. Berkali-kali Zanah mencoba menghubungiku, tapi tidak sekalipun
aku menanggapinya. Perempuan itu layak menjadi bidadari Fadli, menjadi
satu-satunya yang akan memenangkan hatinya. Aku menyerah, wajah teduh Zanah
telah menggambarkan kedamaian surga, darinya aku belajar ikhlas. Perempuan itu
telah mengubah hidup dan hatiku. Aku pergi, sebab istanah sakinah tidak akan
pernah damai ketika ada cinta yang terbagi di dalamnya.