Senja
selalu bercerita tentang biru langit yang memudar, lalu berganti menjadi
goresan jingga yang membentang luas. Senja juga tahu tentang keikhlasan
matahari bergerak pergi, tenggelam di ujung barat dengan sinarnya yang perlahan
hilang. Senja pun tahu tentang kekaguman malam terhadap ketabahan siang yang
harus kehilangan cahaya demi satu rindu yang bertaut satu, kerinduan
manik-manik langit kepada pekat dan juga kerinduan pemilik-pemilik jiwa yang
hendak mengistirahatkan lelah dalam senyap, dalam diamnya malam yang
menenangkan kecamuk dada.
Di ujung senja yang hendak bergerak
pergi, sepasang mata menatap sisa-sisa jingga yang berkemas, lalu hilang tak
berbekas. Bola matanya tak bergerak sedikitpun, genangan-genangan kecil mulai
tumpah dan mengalir lambat di permukaan pipi lembutnya. Sedetik kemudian,
isakan-isakan kecilnya terdengar lirih. Dia menutup wajahnya dengan kedua
tangan, aliran tangis itu tidak lagi bergerak teratur, hampir seluruh wajahnya
turut basah.
“Tidak adakah pekerjaan yang lebih
menarik selain menangis di jembatan setiap senja?” Terdengar langkah kaki di
atas sebuah jembatan tua yang mengayun pelan, perlahan-lahan dia mendekat dan
menatap ke arah yang sama dengan wanita itu.
Liona
menyeka air matanya, menoleh ke arah pemuda itu.
“Kau tidak tahu banyak tentang
kehidupanku, tidak usah ikut campur!”
Pemuda
berkemeja kotak-kotak itu tersenyum kecil, dilipatnya kedua tangannya di depan
dada dan kembali menatap ujung barat yang mulai gelap.
“Aku memang tidak tahu banyak, tapi
aku tahu yang kau tangisi itu. Hidup ini memang getir, pahit. Semua manusia
pasti mengalami,” ujarnya pelan.
Liona
terdiam, tidak mengubris. Dia hanya merasa terusik dengan kehadiran pemuda sok
bijak itu.
“Sampai kapan kamu harus menyiksa
dirimu sendiri seperti ini? Kebaikan tidak akan perna datang ketika kita hanya
fokus mengejar keburukan,” ungkap Ahdan, pemuda aktivis dakwah yang perna
menaruh hati kepadanya diam-diam. Tapi, itu dulu. Meski rasa cinta itu masih
ada hingga saat ini, tapi sudah tidak sebesar kemarin.
“Kalau mau ceramah, bukan di sini
tempatnya.” Liona memperbaiki aturan rambutnya yang tertiup angin.
“Aku hanya sekedar mengingatkan.
Baik, Kakak tinggal ya! Jangan berlama-lama di sini.” Ahdan berbalik, melangkah
pelan menyusuri jejeran papan dari sebuah jembatan gantung.
Liona menghela nafas panjang, dia menunduk menatap
keindahan ombak yang berkejaran di bawah sana. Tatapannya kosong. Kaki kanannya
mulai terangkat, berpijak di atas sebuah rantai besi yang mengelilingi jembatan
itu, perlahan-lahan kedua kakinya tiba di luar batas itu. Dia berdiri dengan
degup jantung yang sangat cepat, niatnya mengakhiri hidup sudah mantap. Sekali
lagi, wanita berbaju kaos putih serta berjeans selutut itu menatap deburan
ombak yang gagah di bawahnya. Melewati lembaran-lembaran waktu dalam keadaan
hina sudah membuatnya lelah, teramat lelah. Dunia malam yang kerap digelutinya
semakin menyeretnya ke dalam kesengsaraan yang tak bertepi.
Ketika surga di rumahnya hilang, cinta di dalam
hatinya turut padam. Keluarga mawaddah di tengah keluargannya itu telah
porak-poranda. Orang tuanya bercerai, lalu memilih tinggal bersama Ayahnya.
Sebuah pilihan yang salah, lelaki berusia lima puluh tahun itu menjual putrinya
sendiri. Kehidupan yang kelam.
Ahdan yang hendak tiba di ujung jembatan menoleh, dilihatnya
Liona yang hendak melompat segera berlari sekencang yang dia bisa. Sekujur
tubuhnya mendadak dingin, Sepotong hati yang perna dia simpankan untuk wanita
itu tiba-tiba terasa nyeri. Ahdan tidak akan perna sanggup melihatnya
mengakhiri hidup dengan tragis. Seburuk apapun Liona di mata manusia, sehina
apapun di mata pencipta. Bagi Ahdan, dia tetaplah wanita yang baik.
“Jangan mendekat!” teriak Liona. Langkah Ahdan
terhenti.
“Jangan melakukannya. Kumohon. Kamu masih punya
kebahagiaan yang lebih besar, please!” Ahdan kembali melangkah kecil
mendekatinya, mencoba menarik paksa tangan Liona.
“Segala kebahagiaan yang kurindukan telah mati,
lenyap. Tidak akan perna kutemui lagi. Kebahagiaan tidak akan perna lagi
berpihak kepadaku.” Beberapa pejalan kaki yang melewati jembatan itu turut
menyaksikan dengan raut wajah tegang.
“Plakkk!”
Seorang lelaki tua bertubuh agak besar memukul Liona dari belakang ketika Liona
sibuk mengusir Ahdan. Ahdan terbelalak kaget, Liona pingsan, lelaki tua itu
menopang tubuhnya agar tidak sampai jatuh, yang lainnya akhirnya turut
membantu.
Setelah melewati perjalanan waktu
yang menakutkan, Ahdan akhirnya bisa bernafas lega. Liona masih tidak sadarkan
diri, pukulan lelaki tua itu cukup hebat. Memang hal yang disengaja, membuatnya
pingsan adalah cara tercepat dalam suasana genting seperti itu.
“Aku di mana?” tanyanya dengan mata
setengah terbuka, sesaat kemudian dia kembali terpejam. Sesekali dia merintih
kesakitan.
“Di rumah Bu’ Nining,” sahut Yanti,
putri pemilik warung yang letak rumahnya tidak jauh dari jembatan gantung
tersebut. Ahdan hanya menatapnya sendu dari kejauhan, tidak berani mendekat.
Dia pria yang baik, sangat menghormati wanita. Bagaimana pun juga, dia tidak enak
berada di antara dua gadis yang bukan muhrimnya itu.
“Siapa yang membawaku ke sini? Siapa
ha?” Tiba-tiba dia bangun, memberontak. Didorongnya Yanti hingga jatuh
terbentur di lemari. Liona berlari keluar, tapi berhasil ditahan oleh Ahdan di
ambang pintu. Ahdan memegang pergelangannya kuat-kuat, “Istigfhar, Liona!”
“Lepaskan!”
“Tidak! Tenangkan dirimu!” Bentak
Ahdan.
“Untuk apa kalian memintaku hidup?
Kalian tidak perna tau apa yang harus aku lalui! Kalian tidak perna tau sekotor
apa kehidupanku!” teriaknya dengan menatap tajam bola mata Ahdan dan Yanti
secara bergantian.
“Allah Maha pengampun! Bukankah
kemarin, sebelum semuanya seperti ini kamu perna mengatakan itu. Kamu sering
menasehatiku tentang kemurahan Tuhan!”
“Kamu munafik, Liona! Penghianat! Kamu membohongi
hatimu, membohongi Tuhan dan juga memgohongiku,” lanjut Ahdan.
Liona
jatuh tersungkur, bersandar di pintu dengan tangis tak tertahan. Kedua
tangannya menutup wajahnya, terisak. Sebelum Ayah dan Ibunya bercerai, Liona
adalah wanita yang baik, Liona juga aktif di organisasi islam di desa, sering
mengikuti pengajian dan seminar islam. Dia wanita yang sholehah, kala itu.
“Allah merindukanmu, DIA memintamu
pulang dalam kebaikan. Bukankah kemarin kamu sangat mencintai-Nya?” Ahdan mulai
berujar pelan.
Liona
menggeleng, “Allah sudah benar-benar meninggalkanku.”
“Kamu yang meninggalkannya, Liona.
Allah itu selalu dekat kepada hambanya yang juga mendekatkan diri.”
“Allah merindukanmu! Hatimu juga merindukan
jalan-jalan lurus-Nya. Hanya saja, ego dan amarah masih menguasaimu. Bukankah
kemarin kamu perna bercerita kepadaku bahwa kamu ingin bertemu dengan-Nya di
surga, bertemu dengan Muhammad dan nabi tertampan, Nabi Yusuf?” Ahdan mencoba
mengingatkan kenangan bersamanya di depan musholla beberapa tahun yang lalu.
“Atau kamu ingin menemuinya di
neraka? Tidak. Mereka tidak tinggal di neraka, bukan? Jika kamu mengakhiri
hidup dengan jalan itu, jalan yang dimurkai-Nya, tidak ada pilihan lain bagi
Allah selain membawamu ke neraka,” jelasnya panjang lebar. Liona semakin
terisak, hatinya semakin pedih. Kerinduannya kepada Allah kembali menimbun
kemarahannya, mengikis penyakit di hatinya. Telah lama dia merindukan kebaikan,
tapi kehinaan yang dia rasakan semakin menyeretnya jauh dari Tuhan.
“Liona, Kakak bisa menebak isi
hatimu. Jendela hatimu mengatakan itu, sungguh berlawanan dengan tindakanmu.
Kakak tahu, kamu tidak suka dengan semua ini. Hatimu merindukan kebenaran,
kasih sayang. Ingatlah, meski dunia menatapmu berbeda, tapi Allah dan semua
penduduk langit tetap merindukanmu, tetap mengharapkanmu pulang, tetap
menunggumu sebagai sosok yang indah.”
Yanti
mendekati Liona yang masih tersungkur, mencoba memeluknya. Tubuhnya benar-benar
lemah. Kalimat-kalimat Ahdan seolah mematahkan kekuatannya untuk berdiri.
Hatinya menjerit sakit. Perlahan bibirnya mulang mengucap dzikir,
“Astagfirullah”
“Sungguh aku merindukanmu, wahai
Allah. Ampunilah!” besitnya di dalam hati dengan derai air mata penyesalan.