Menu Navigasi

19 July 2020

02 | Di Bawah Senja

Cerpen

Senja selalu bercerita tentang biru langit yang memudar, lalu berganti menjadi goresan jingga yang membentang luas. Senja juga tahu tentang keikhlasan matahari bergerak pergi, tenggelam di ujung barat dengan sinarnya yang perlahan hilang. Senja pun tahu tentang kekaguman malam terhadap ketabahan siang yang harus kehilangan cahaya demi satu rindu yang bertaut satu, kerinduan manik-manik langit kepada pekat dan juga kerinduan pemilik-pemilik jiwa yang hendak mengistirahatkan lelah dalam senyap, dalam diamnya malam yang menenangkan kecamuk dada.

            Di ujung senja yang hendak bergerak pergi, sepasang mata menatap sisa-sisa jingga yang berkemas, lalu hilang tak berbekas. Bola matanya tak bergerak sedikitpun, genangan-genangan kecil mulai tumpah dan mengalir lambat di permukaan pipi lembutnya. Sedetik kemudian, isakan-isakan kecilnya terdengar lirih. Dia menutup wajahnya dengan kedua tangan, aliran tangis itu tidak lagi bergerak teratur, hampir seluruh wajahnya turut basah.

            “Tidak adakah pekerjaan yang lebih menarik selain menangis di jembatan setiap senja?” Terdengar langkah kaki di atas sebuah jembatan tua yang mengayun pelan, perlahan-lahan dia mendekat dan menatap ke arah yang sama dengan wanita itu.

Liona menyeka air matanya, menoleh ke arah pemuda itu.

            “Kau tidak tahu banyak tentang kehidupanku, tidak usah ikut campur!”

Pemuda berkemeja kotak-kotak itu tersenyum kecil, dilipatnya kedua tangannya di depan dada dan kembali menatap ujung barat yang mulai gelap.

            “Aku memang tidak tahu banyak, tapi aku tahu yang kau tangisi itu. Hidup ini memang getir, pahit. Semua manusia pasti mengalami,” ujarnya pelan.

Liona terdiam, tidak mengubris. Dia hanya merasa terusik dengan kehadiran pemuda sok bijak itu.

            “Sampai kapan kamu harus menyiksa dirimu sendiri seperti ini? Kebaikan tidak akan perna datang ketika kita hanya fokus mengejar keburukan,” ungkap Ahdan, pemuda aktivis dakwah yang perna menaruh hati kepadanya diam-diam. Tapi, itu dulu. Meski rasa cinta itu masih ada hingga saat ini, tapi sudah tidak sebesar kemarin.

            “Kalau mau ceramah, bukan di sini tempatnya.” Liona memperbaiki aturan rambutnya yang tertiup angin.

            “Aku hanya sekedar mengingatkan. Baik, Kakak tinggal ya! Jangan berlama-lama di sini.” Ahdan berbalik, melangkah pelan menyusuri jejeran papan dari sebuah jembatan gantung.

Liona menghela nafas panjang, dia menunduk menatap keindahan ombak yang berkejaran di bawah sana. Tatapannya kosong. Kaki kanannya mulai terangkat, berpijak di atas sebuah rantai besi yang mengelilingi jembatan itu, perlahan-lahan kedua kakinya tiba di luar batas itu. Dia berdiri dengan degup jantung yang sangat cepat, niatnya mengakhiri hidup sudah mantap. Sekali lagi, wanita berbaju kaos putih serta berjeans selutut itu menatap deburan ombak yang gagah di bawahnya. Melewati lembaran-lembaran waktu dalam keadaan hina sudah membuatnya lelah, teramat lelah. Dunia malam yang kerap digelutinya semakin menyeretnya ke dalam kesengsaraan yang tak bertepi.

Ketika surga di rumahnya hilang, cinta di dalam hatinya turut padam. Keluarga mawaddah di tengah keluargannya itu telah porak-poranda. Orang tuanya bercerai, lalu memilih tinggal bersama Ayahnya. Sebuah pilihan yang salah, lelaki berusia lima puluh tahun itu menjual putrinya sendiri. Kehidupan yang kelam.

Ahdan yang hendak tiba di ujung jembatan menoleh, dilihatnya Liona yang hendak melompat segera berlari sekencang yang dia bisa. Sekujur tubuhnya mendadak dingin, Sepotong hati yang perna dia simpankan untuk wanita itu tiba-tiba terasa nyeri. Ahdan tidak akan perna sanggup melihatnya mengakhiri hidup dengan tragis. Seburuk apapun Liona di mata manusia, sehina apapun di mata pencipta. Bagi Ahdan, dia tetaplah wanita yang baik.

“Jangan mendekat!” teriak Liona. Langkah Ahdan terhenti.

“Jangan melakukannya. Kumohon. Kamu masih punya kebahagiaan yang lebih besar, please!” Ahdan kembali melangkah kecil mendekatinya, mencoba menarik paksa tangan Liona.

“Segala kebahagiaan yang kurindukan telah mati, lenyap. Tidak akan perna kutemui lagi. Kebahagiaan tidak akan perna lagi berpihak kepadaku.” Beberapa pejalan kaki yang melewati jembatan itu turut menyaksikan dengan raut wajah tegang.

“Plakkk!” Seorang lelaki tua bertubuh agak besar memukul Liona dari belakang ketika Liona sibuk mengusir Ahdan. Ahdan terbelalak kaget, Liona pingsan, lelaki tua itu menopang tubuhnya agar tidak sampai jatuh, yang lainnya akhirnya turut membantu.

            Setelah melewati perjalanan waktu yang menakutkan, Ahdan akhirnya bisa bernafas lega. Liona masih tidak sadarkan diri, pukulan lelaki tua itu cukup hebat. Memang hal yang disengaja, membuatnya pingsan adalah cara tercepat dalam suasana genting seperti itu.  

            “Aku di mana?” tanyanya dengan mata setengah terbuka, sesaat kemudian dia kembali terpejam. Sesekali dia merintih kesakitan.

            “Di rumah Bu’ Nining,” sahut Yanti, putri pemilik warung yang letak rumahnya tidak jauh dari jembatan gantung tersebut. Ahdan hanya menatapnya sendu dari kejauhan, tidak berani mendekat. Dia pria yang baik, sangat menghormati wanita. Bagaimana pun juga, dia tidak enak berada di antara dua gadis yang bukan muhrimnya itu.

            “Siapa yang membawaku ke sini? Siapa ha?” Tiba-tiba dia bangun, memberontak. Didorongnya Yanti hingga jatuh terbentur di lemari. Liona berlari keluar, tapi berhasil ditahan oleh Ahdan di ambang pintu. Ahdan memegang pergelangannya kuat-kuat, “Istigfhar, Liona!”

            “Lepaskan!”

            “Tidak! Tenangkan dirimu!” Bentak Ahdan.

            “Untuk apa kalian memintaku hidup? Kalian tidak perna tau apa yang harus aku lalui! Kalian tidak perna tau sekotor apa kehidupanku!” teriaknya dengan menatap tajam bola mata Ahdan dan Yanti secara bergantian.

            “Allah Maha pengampun! Bukankah kemarin, sebelum semuanya seperti ini kamu perna mengatakan itu. Kamu sering menasehatiku tentang kemurahan Tuhan!”

“Kamu munafik, Liona! Penghianat! Kamu membohongi hatimu, membohongi Tuhan dan juga memgohongiku,” lanjut Ahdan.

Liona jatuh tersungkur, bersandar di pintu dengan tangis tak tertahan. Kedua tangannya menutup wajahnya, terisak. Sebelum Ayah dan Ibunya bercerai, Liona adalah wanita yang baik, Liona juga aktif di organisasi islam di desa, sering mengikuti pengajian dan seminar islam. Dia wanita yang sholehah, kala itu.

            “Allah merindukanmu, DIA memintamu pulang dalam kebaikan. Bukankah kemarin kamu sangat mencintai-Nya?” Ahdan mulai berujar pelan.

Liona menggeleng, “Allah sudah benar-benar meninggalkanku.”

            “Kamu yang meninggalkannya, Liona. Allah itu selalu dekat kepada hambanya yang juga mendekatkan diri.”

            “Allah merindukanmu! Hatimu juga merindukan jalan-jalan lurus-Nya. Hanya saja, ego dan amarah masih menguasaimu. Bukankah kemarin kamu perna bercerita kepadaku bahwa kamu ingin bertemu dengan-Nya di surga, bertemu dengan Muhammad dan nabi tertampan, Nabi Yusuf?” Ahdan mencoba mengingatkan kenangan bersamanya di depan musholla beberapa tahun yang lalu.

            “Atau kamu ingin menemuinya di neraka? Tidak. Mereka tidak tinggal di neraka, bukan? Jika kamu mengakhiri hidup dengan jalan itu, jalan yang dimurkai-Nya, tidak ada pilihan lain bagi Allah selain membawamu ke neraka,” jelasnya panjang lebar. Liona semakin terisak, hatinya semakin pedih. Kerinduannya kepada Allah kembali menimbun kemarahannya, mengikis penyakit di hatinya. Telah lama dia merindukan kebaikan, tapi kehinaan yang dia rasakan semakin menyeretnya jauh dari Tuhan.

            “Liona, Kakak bisa menebak isi hatimu. Jendela hatimu mengatakan itu, sungguh berlawanan dengan tindakanmu. Kakak tahu, kamu tidak suka dengan semua ini. Hatimu merindukan kebenaran, kasih sayang. Ingatlah, meski dunia menatapmu berbeda, tapi Allah dan semua penduduk langit tetap merindukanmu, tetap mengharapkanmu pulang, tetap menunggumu sebagai sosok yang indah.”

Yanti mendekati Liona yang masih tersungkur, mencoba memeluknya. Tubuhnya benar-benar lemah. Kalimat-kalimat Ahdan seolah mematahkan kekuatannya untuk berdiri. Hatinya menjerit sakit. Perlahan bibirnya mulang mengucap dzikir, “Astagfirullah”

            “Sungguh aku merindukanmu, wahai Allah. Ampunilah!” besitnya di dalam hati dengan derai air mata penyesalan.